Litelenjel's Stories

bercerita tentang rasa yang ada

tak terucap, bukan berarti tak dirasa..

Karena kita punya hati. Tempat bebas untuk menduga, berprasangka, berpendapat, merasa, dan memelihara mimpi. Wilayah abu-abu dari semua penilaian benar salah. Teritorial paling aman lagi pribadi. Kotak pandora penuh misteri, berisi hasrat dan rahasia terdalam.

Dan inilah kisah cerita hatiku. Isi benak dan pikiranku. Tentang aku, kamu, dan sekitar.

Masa Yang Telah Lalu

Karena paket kisah masa lalumu, tak mengubah caraku melihatmu.

Hey…siapa yang tak punya sejarah di masa terdahulu?!

Yang utama adalah engkau di masa nanti. Dengan kebijakan hati, setelah berguru dengan sang masa lalu 😊

Ini Takdir?

Sejarah telah mencatat, ada puluhan kali kita punya peluang untuk bertemu. Beberapa tahun yang lalu, kita kerap berada di dalam satu ruang dan waktu. Menghirup oksigen yang sama.

Puluhan kali berjumpa. Tanpa tegur dan sapa. Bahkan tak berbalas senyum di muka. Apalagi bertukar nama.

Ah, takdir.. Mengapa aku tak mengenalmu sejak pertama kali bertatap muka?
Mengapa tak sedari dulu saja cerita ini dibuat?

Betapa lucunya nasib berkisah. Membawa kita ke tempat-tempat yang tak pernah terbayangkan. Mengiringi suara hati untuk berbuat sesuatu. Mendorong langkah kaki untuk terus melangkah menemui takdirnya.
Dan mungkin ini takdirku. Aku menemukanmu. Pada akhirnya.

Nasib yang berbeda, setelah puluhan kesempatan yang tersia-sia.

Karena Kita Bertumbuh

Setiap jiwa yang hadir,
Selalu membawa pesan dan pelajaran..
Ada yang hanya sepintas lalu,
Atau lekat, membersamai setiap waktu..

Namun setiap pribadi adalah unik,
Tak kan mungkin selalu sama..
Kita semua memiliki jalan sendiri,
Langkah kaki dengan tujuan masing-masing..

Sampai di sini,
Di jalan penuh cabang..
Mungkin aku akan ke selatan,
Dan kau ke tenggara..

Semoga nanti kita akan berjumpa lagi,
Di persimpangan jalan berikutnya..

Atau mungkin tak kan pernah bersua,
Dan hanya menjadi sejarah,
Tersimpan dalam catatan hati,
Saksi bahwa kita pernah bertumbuh bersama..

*Bulan Agustus, setahun yang lalu

Sungguh?!

Ada kalanya angan menjadi hampa,
Rencana tak berwujud kehendak hati,
Ketika nyata tak semenarik khayalan,
Atau bahkan lebih buruk..

Di sana selalu ada bayaran,
Upah dari segala usaha..

Jangan keluhkan hasil,
jika tak segenap daya..
Jika sungguh hati,
Tentu pasti hasilnya baik..

Jika belum juga tiba,
Mungkin hanya tinggal tunggu saatnya..
Karena kesungguhan tak pernah khianati hasil..

Lalu pertanyaannya,
Seberapa bersungguh2nya kamu?

Menikah : Seni Mengalah

Repost :

Beberapa pekan jelang menikah, saya yang kala itu masih berusia 22 tahun, meguru pada ibu. Apa yang perlu dilakukan agar pernikahan berjalan damai?

Ibu menjawab tanpa berpikir panjang. Seolah pertanyaan yang saya ajukan se sepele resep sayur lodeh.

“Nikah ki yo anggere wani ngalah..” (Nikah itu pokoknya berani mengalah)

Dua kata yang menggedor batin saya: BERANI dan MENGALAH

Kata BERANI biasanya disandingkan dengan hal yang berat, bahkan horor. “Berani mati” misalnya. Tapi ibu menyandingkan kata itu dengan MENGALAH. Saya mulai memahaminya sebagai tugas berat, yang tidak semua orang mau dan mampu menjalankannya.

Mengalah

Dan ini yang pada akhirnya saya jumpai, lalu saya pelajari dari lelaki yang sejak 18 tahun lalu saya dapati memiliki kepribadian baik.

Saat pernikahan masih serba kekurangan, dia akan lebih dulu mengambil piring plastik agar saya bisa menggunakan piring beling.

Saat anak belum lulus toilet training, dia yang akan bangun di tengah malam untuk menatur si kecil, padahal yang anak panggil saat itu adalah ibunya.

Saat makan di luar, dia akan makan dengan terburu-buru agar bisa cepat bergantian menggendong si kecil. Demi kuah bakso di mangkok saya tidak keburu dingin.

Saat mendapati satu bacaan yang menarik, dan saya tertarik, dia akan mengangsurkan bacaan itu. “Bacalah lebih dulu. Aku sudah selesai”

Saat memasak dan jumlah masakan itu terbatas. Bukan saya yang menyisihkan untuk bagiannya, tapi dia yang akan mengambilkan lebih dulu untuk saya, dalam jumlah yang lebih banyak darinya. “Aku sudah kenyang..” dan saya tahu itu bohong.

Saat ada sepotong roti, dia akan membaginya tidak sama besar. Tapi saya yang lebih besar. “Kamu kan menyusui. Butuh lebih banyak kalori..” dan kami akan berdebat panjang, lalu diakhiri dengan saya tidak akan memakan bagian yang besar itu sampai dia tarik kembali agar beratnya sepadan.

Saat saya akan memakai kamar mandi belakang (yang ukurannya lebih kecil dari kamar mandi depan) dia yang sedang berada di kamar mandi depan segera keluar dan meminta saya menempatinya. “Aku di belakang aja. Nanti kamu kaget kalau banyak kecoa..”

Saat saya marah, meski kemarahan itu tidak masuk akal, dia yang mendekat, mengangsurkan tangan dan meminta maaf. Padahal masalah sebenarnya pun belum terang ia cerna.

Ini akhlak. Ini ngalah. Dan ini cinta

Entah bagaimana caranya dia tidak bosan mengalah, dan tidak pula berdendang “Mengapa s’lalu aku yang mengalah..”

Enteng saja dia menjalani itu. Ikhlas saja. Senang-senang saja. Tapi dampaknya sangat besar buat saya.

Apa itu? Penghormatan, penghargaan, dan respek.

Untuk segi kematangan emosional, saya tertatih-tatih di belakangnya. Marah dan mau menang sendiri, selalu menjadi bagian saya.

Tapi sikap ngalah yang dia tunjukkan, lambat laun jadi mematangkan emosi itu. Sekaligus membuat saya juga jadi ingin mengalah. Ngalah untuk tidak memancing sikap ngalahnya, yang saya rasa sudah berlebihan dia beri pada saya.

Ya..ya.. pernikahan memang selaiknya menjadi hubungan yang take and give. Saling memberi saling menerima. Saling menutupi dan memahami.

Tentu jika hanya satu pihak saja yang terus mengalah, dan pihak yang lain memanfaatkan sikap ngalah itu, kedamaian hanya jadi angan. Karena pasti ada bom waktu di balik sikap ngalah itu.

Namun mengalah adalah seni untuk memenangkan hati pasangan. Dan pasangan yang baik (baca: tahu diri) pasti akan menyambut sikap ngalah ini dengan suka cita, kesyukuran, lalu menghargai usaha dari pasangannya.

Mungkin ini yang membuat ibu menjawab “ngalah” sebagai kunci kedamaian berumah tangga.

***

Dan kini saya pun bertanya padanya, si lelaki pengalah itu. “Mengapa kamu selalu mengalah padaku?”

Jawabannya sederhana saja. Se-sederhana resep sayur lodeh:

“Aku tidak pernah merasa ngalah. Yang aku lakukan hanyalah menjaga agar kita tidak pernah terpecah belah..”

Untukmu yang berani mengalah,
Wulan Darmanto

Diposting ulang dari https://m.facebook.com/photo.php?fbid=10207120228184256&id=1238259057&set=a.10201863743695429.1073741825.1238259057

Upgrade

Dalam hidup, jangan pernah berhenti belajar. Jangan gengsi untuk mengakui
kesalahan. Terima keadaan, cari solusi, dan perbaiki.

Yang penting itu, willingness to upgrade your life.

Live.
Learn.
Upgrade.

The Other Me

Konon katanya, tak kenal maka tak kan sayang. Mari kita berkenalan dan melihat sisi lain dari aku, lebih dekat lagi..

Keep in touch!